do – love

Do what you love, love what you do.

Belakangan ini, quote tersebut sering sekali bergentayangan di sekitar saya. Seolah memahami perasaan saya menjelang berakhirnya status sebagai mahasiswa. Tentang visi, misi, cita-cita, keinginan, kegemaran, hobi, dan hal lain yang berbau demikian. Hingga terlibat sebuah diskusi panjang dengan teman seperjuangan, tentang sebuah pertanyaan klasik, what to do next? Kebimbangan yang mungkin dirasakan oleh banyak manusia-manusia sejenis saya yang agak-sedikit-kurang ambisius.

Kemudian pada hari ini, sebuah kebetulan yang tentu merupakan skenarioNya,  saya  menemukan topik ini di timeline seorang motivator muda Indonesia. Dalam kultwitnya, beliau mengisahkan kehidupan masa lalunya  yang berantakan. Ketidakteraturan tersebut diawali dengan memilih untuk memasuki PT favorit karena akan dianggap keren dan meninggalkan keinginannya untuk kuliah di PT yang dapat memfasilitasi potensinya. Masalahnya hanya 1, gengsi. Beruntungnya, dia segera menyadarinya dan langsung memutar haluan untuk kembali menjemput keinginannya. Meski harus mengorbankan kuliah karena terpaksa di DO, beliau yakin bahwa apa yang dijalaninya pada saat itu adalah sebuah kekeliruan. Tentu banyak yang menentang. Tidak lulus kuliah merupakan hal yang sangat memalukan untuk ukuran anak muda zaman sekarang. Tapi ia yakin bahwa tempatnya kuliah saat itu bukanlah tempat yang sesuai dengan passionnya.

Akhirnya, sekarang beliau telah menemukan yang diinginkannya, serta menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Setidaknya itu yang dirasakan oleh dirinya sendiri. Dibandingkan dengan sebelumnya ketika beliau terpaksa membohongi dirinya sendiri demi mendapatkan predikat ‘anak pintar’ karena memasuki sebuah komunitas yang bergengsi tersebut. Pada akhirnya, sebuah poin yang ditekankan oleh beliau adalah kejujuran. Jujur untuk mengakui apa yang diinginkan, sehingga mampu menentukan apa yang harus dilakukan.

Kisah tersebut membawa saya pada pengalaman pribadi saat mengerjakan tugas akhir yang ternyata susah-susah gampang. Tentu susahnya lebih banyak dibanding gampangnya, oleh karena itu saya menyebutnya 2 kali diawal, bukan gampang-gampang susah. Kesusahan itu dimulai ketika saya bingung menentukan topik yang akan diangkat untuk diteliti. Banyak saran yang masuk, semua terdengar begitu indah dan menjanjikan.

Teman sekelas: “Topik M aja, enak loh cari datanya.”

Lalu masukan dari teman sepermainan, “ Eh mendingan topic F deh, lebih useful penelitiannya.”

“Pokoknya jangan topik H, suka agak susah bikin analisisnya“, yang ini dari teman seperjuangan.

Agak lama saya memikirkan dan berdiskusi panjang dengan mereka yang sudah berpengalaman. Alhasil saya memilih topik yang bahkan saya juga baru menyadari bahwa saya sangat menyukai segala hal tentang topik Q  ini. Saya mencoba mengingat masa lalu ketika mengambil mata kuliah ini. Disamping memang dosennya yang menyenangkan, jatah bolos saya untuk makul ini ternyata masih lengkap. Jauh berbeda dengan mata kuliah lainnya yang jatahnya memang sengaja saya habiskan, lumayan ada kesempatan (ehh..). Mungkin makul ini bukan sebuah topik yang keren untuk diperbincangkan, atau ramai didiskusikan. Tapi ketika saya menyadari betapa banyak hal yang bisa saya temukan disini, saya mulai menekuninya.

So, I do what I love.

Tapi ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ketika proses pengerjaan dimulai, banyak sekali hambatan dan tantangan yang menyergap. Yang paling utama adalah kemalasan dan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, disamping hambatan eksternal lainnya yang tidak kalah seru juga.

Seringkali saya dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat berat. Di sebelah kanan saya tergeletak sebuah novel setebal  200 halaman, dan di samping kiri saya terdapat seonggok jurnal penelitian yang hanya 20 halaman. Tanpa perlu dikomando, Saya tentu akan memilih novel. I do love reading novel. Beruntungnya, hal tersebut tidak selalu terjadi setiap saat. Terkadang ada sabuah bisikan halus, yang saya yakini sebagai sebuah petunjuk, untuk meninggalkan hal yang saya cintai (re:membaca novel) dan memilih untuk membaca jurnal-jurnal itu. Saya harus melakukannya.

Tentu melakukannya dengan terpaksa. Awalnya begitu berat, sempat tersendat-sendat. Tapi kemudian saya menyadari (lagi) bahwa jika saya membiarkan diri saya terlena dengan alibi: “I love reading novel, so I prefer this than journal. Because I do what I love!”, mungkin saya akan menjadi mahasiswa abadi.

Then, I (am trying to) love what I do. Pada akhirnya, saya mulai menikmati membaca jurnal-jurnal yang bertaburan teori itu. Satu demi satu bisa saya rampungkan sesuai dengan target. Tapi tentu kondisinya akan berbeda jika ternyata saya memilih topik lain yang sama sekali tidak pernah saya sukai. Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. Topiknya  saja bikin pusing, apalagi harus baca jurnalnya. What a disaster!

Dengan pengalaman tersebut, maka saya mengambil sebuah hipotesa bahwa sebetulnya 2 kalimat tersebut tidak semerta-merta harus dipilih seperti sebuah jawaban pilihan ganda benar dan salah. Memang untuk dipilih, tapi tidak untuk di-per-hadapkan. Melainkan untuk saling melengkapi.

 Analogi ini juga (menurut saya) bisa digunakan untuk menghadapi pertanyaan yang sering saya dengar juga. “menikahi orang yang dicintai, atau mencintai orang yang dinikahi”. Ini memang pilihan. Tetapi bukan hal yang perlu dipilih dan diperdebatkan dalam menjalani kehidupan. Bisa saja kita merasa telah berhasil menikah dengan orang yang dicintai, karena kita mendapatkan yang diinginkan dan sesuai dengan perencanaan. Tetapi ternyata, bukan suatu hal yang buruk untuk mencintai orang yang sama sekali tidak pernah terbayang untuk menikah dengannya. Karena mungkin ternyata takdirlah yang mempertemukan. Kita hanya perlu memilih untuk menjalaninya dengan rasa syukur. Karena pada akhirnya kita akan merasa telah menikahi orang yang dicintai, atau begitu juga sebaliknya, setelah belajar untuk mencintai dalam sebuah proses yang mungkin tidak sebentar.

Seperti  yang juga terjadi dalam sepenggal kehidupan saya. Adalah ketika saya ditakdirkan untuk kuliah di jurusan yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan berkecimpung di dunia ini. Ketika SMA, saya merasa telah memilih jurusan yang benar sesuai dengan keinginan saya semasa kecil, juga mendukung cita-cita saya di masa depan. Tapi ternyata Allah menakdirkan hal yang lain. Dia menggiring saya menuju sebuah kehidupan yang meski saya tidak pernah menginginkannya, saya (pada akhirnya) merasa bahagia dan bersyukur telah menjadi bagian dari komunitas ini.

Tidak hanya saya, perasaan ini juga mungkin dirasakan oleh teman-teman saya yang lain. Membanting pola berpikir dan memutar balik cara pandang bukanlah hal yang mudah. Tapi saya harus melakukannya. Hingga menjadi terbiasa, dan akhirnya saya mulai mencintai kehidupan yang saya jalani sekarang ini.

I love what I do.

Ya, pada akhirnya kedua hal tersebut (menurut saya) bukanlah sebuah hal yang harus dipilih secara mutlak. Bahkan  saya  berpikir bahwa keduanya harus dijalankan secara bersama-sama. Untuk saling melengkapi, sebagai bagian dari sebuah proses. Yang perlu ditentukan adalah sebuah cita-cita besar yang akan digapai di akhir perjalanan kehidupan.

Whatever we do what we love, or we love what we do, we should love and we should do.

Entah itu melakukan yang kita cintai, atau mencintai yang kita lakukan, yang kita perlukan adalah mencintai sesuatu, dan melakukan sesuatu.