Menjadi Bangsa yang Kaya dan Mulia

Ukuran keberhasilan suatu Negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Semakin tinggi tingkat ekonomi, maka dianggap semakin majulah Negara tersebut. Survey membuktikan bahwa UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) merupakan salah satu unit ekonomi yang memiliki tingkat ketangguhan yang cukup tinggi dalam mengahadapi krisis dunia. Artinya sebuah Negara perlu memiliki cukup banyak unit usaha tersebut dalam rangka memperkuat perekonomian di dalamnya. Pembangunan unit usaha ini tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia di dalam negeri untuk berani bertarung di pasar ekonomi yang cukup ganas. Permasalahan di Indonesia terletak pada mental masyarakat yang belum memiliki tekad yang kuat untuk menciptakan unit usaha baru dengan modal yang minim. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya pendidikan yang masih belum menjadi fokus utama di Negara kita ini. Perhatian masyarakat terhadap hal ini juga masih rendah, terlihat dengan kurang pedulinya orang tua terhadap pendidikan anak-anak di dalam keluarga, juga sistem pendidikan di sekolah yang dirasa masih belum ideal. Perlu adanya  perubahan sistem pendidikan secara beriringan untuk membentuk karakter masayarakat yang jujur, mandiri, tangguh dan kreatif sehingga dapat turut berkontribusi dalam membangun perekonomian Negara .

 

Wirausahawan dan Perannya bagi Ekonomi Negara

Berapa persen jumlah wirausahawan di negeri Cina, India, Korea, Singapura, dan di negeri-negeri yang ekonominya kuat? Berapa persen jumlah wirausahawan Indonesia? Pertanyaan ini penting jika mengingat bahwa kekuatan ekonomi suatu negara banyak ditentukan oleh jumlah wirausahawannya. Menurut pengusaha properti, Ciputra, (Kompas.com, 20/10/2009) dari ratusan juta penduduk Indonesia, baru 44.000 orang yang menjadi pengusaha. Hal tersebut sangat disayangkan. Pasalnya, untuk menjadi negara yang kuat dalam sisi ekonomi, Indonesia membutuhkan 4,4 juta pengusaha. “Berdasarkan data statistik, baru ada 44.000 anggota masyarakat yang menjadi pengusaha,” katanya. “Jumlah pengusaha di Singapura jauh lebih banyak dari Indonesia. Jumlah ekspor Singapura juga jauh lebih banyak dari Indonesia. Padahal, Indonesia lebih unggul dalam jumlah tenaga kerja.”

Ciputra menilai masih sedikitnya jumlah pengusaha di Indonesia disebabkan kurikulum yang masih didominasi teori. Padahal, untuk menjadi seorang pengusaha tidak hanya membutuhkan teori, tetapi juga praktik. “Apa yang dipelajari di sekolah tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Menjadi pengusaha membutuhkan kreativitas yang didapat dari praktik,” katanya. Untuk itu, Ciputra menyarankan pemerintah perlu merevisi kurikulum yang ada agar jumlah pengusaha di Indonesia bertambah. Namun, hal tersebut masih terganjal budaya yang ada di masyarakat. Masyarakat telah terbiasa dengan budaya teori yang diberikan kepada para pelajar.

Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) mendefinisikan wirausahawan sebagai “orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan operasinya, serta memasarkannya. Sedangkan, Louis Jacques Filion menggambarkan wirausahawan sebagai orang yang imajinatif, yang ditandai dengan kemampuannya dalam menetapkan sasaran serta dapat mencapai sasaran-sasaran itu. Ia juga memiliki kesadaran tinggi untuk menemukan peluang-peluang dan membuat keputusan (Wikipedia).

Dengan kata lain, wirausahawan memiliki dan mampu berpikir kreatif-imajinatif, melihat peluang dan membuat bisnis baru. Seorang wirausahawan adalah seorang manajer, tetapi melakukan kegiatan tambahan yang tidak dilakukan semua manajer. Manajer bekerja dalam hierarki manajemen yang lebih formal, dengan kewenangan dan tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas sedangkan pengusaha memanfaatkan jaringan daripada kewenangan formal yang dimilikinya. Pertanyaannya adalah, kurikulum seperti apa yang diperlukan Indonesia saat ini?

Dapatkah Sekolah menjadi Sekolah Kehidupan?

Beberapa bulan lalu, kampus saya yang berada di Jakarta menyelenggarakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan inovasi kaum muda agar lebih bergiat menciptakan karya-karya yang kreatif. Salah satu bentuk kegiatannya adalah sejenis lomba membuat proposal bisnis, dengan modal yang dibatasi apa yang dapat dilakuakan untuk berwirausaha. Salah satu juri yang kami undang adalah Bapak Agus Pramono pemilik Ayam Bakar Mas Mono yang juga sedang melakukan ekspansi  ke jenis makanan lain yaitu bakso tomat yang juga fokus pada bisnis kuliner. Secara kebetulan saya adalah pendamping beliau selama melakukan penilaian untuk para peserta lomba tersebut, maka saya memiliki waktu yang cukup banyak untuk berbincang ringan tapi berbobot bersama beliau. Yang menarik adalah ternyata beliau tidak tamat sekolah dan beliau adalah mantan office boy.

Meskipun beliau adalah lulusan S3, yaitu SD, SMP dan SMA, pria yang berasal dari Madiun ini tidak lantas menyarankan masyarakat yang ingin berwirausaha untuk tidak bersekolah. Justru beliau menyarankan untuk bersekolah setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. hanya saja sekolah itu sebaiknya bukan hanya untuk mencari nilai, tetapi mencari ilmu dalam artian yang sesungguhnya, dan  juga pengalaman kehidupan. Mas Mono, panggilan akrabnya, juga menyarankan adanya perbaikan pendidikan untuk membangun kepribadian masyarakat yang siap berwirausaha. Menurut beliau, yang perlu ditanamkan di mind set masyarakat Indonesia melalui pendidikan atau sekolah adalah bagaimana siswa-siswanya mampu mencoba satu hal baru yang penuh tantangan dan tidak takut untuk gagal. Karakter seperti ini akan mendukung mental seseorang untuk membangun bisnisnya dengan mencari peluang kemudian berpikir kreatif dan bertindak dengan melakukan hal-hal yang sifatnya inovatif. Keinginan untuk hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain juga menjadi motivasi yang kuat bagi Mas Mono untuk memulai berwirausaha. Menjadi pegawai artinya membiarkan hidup kita diatur oleh orang lain, tidak bebas melakukan apapun yang diinginkan karena pekerjaan kita ditentukan oleh orang lain.

Keberanian untuk mengambil resiko dengan meninggalkan hidup yang sudah enak dengan gaji yang pasti adalah hal yang sulit. Tapi disitulah tantangan yang perlu dihadapi jika seseorang ingin maju. Seorang pengusaha juga harus memiliki mental yang kuat untuk dicemooh ataupun dipandang sebelah mata oleh orang lain karena hal baru yang dilakukan biasanya dianggap aneh oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, beliau menyebutkan karakter lain yang harus dimiliki oleh seorang entrepreneur adalah selalu optimis dan percaya diri juga tidak pernah berhenti untuk terus belajar, dimanapun kita berada kita harus belajar dan selalu mencari ilmu. Tanpa sekolah, Mas Mono pun dapat mendulang sukses hingga beliau memiliki tabungan yang jumlahnya lebih dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Lalu apakah hakikat sebuah pendidikan di sekolah jika ternyata seseorang dapat meraih kejayaannya tanpa mengenyam pendidikan formal di dalam kelas? Mungkinkah pendidikan yang diberikan kepada masyarakat Indonesia masih belum ideal untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan yang akan mendongkrak perekonomian serta kesejahteraan Negara?

Membentuk Karakter, Membangun Jiwa Wirausaha

Pendidikan karakter adalah kebutuhan bangsa Indonesia saat ini. Begitu banyak kekayaan yang terbentang luas di daratan dan lautan alam Indonesia, seharusnya menjadi potensi pengembangan ekonomi yang luar biasa. Namun sumber daya manusia di dalamnya yang ternyata tidak memiliki karakter, menjadikan potensi tersebut terbuang sia-sia. Hal ini perlu disadari oleh berbagai macam pihak, tidak hanya pemerintah saja, agar dapat dicarikan solusinya dan dilaksanakan secara bersama-sama.

Sistem pendidikan yang terjadi saat ini memang cukup mengkhawatirkan. Alih-alih mengajarkan kejujuran, kebijakan Ujian Negara (UN) bahkan seolah dibuat untuk menunjukkan korupsi dari level yang paling rendah. Pengawas dengan entengnya memberikan kesempatan bagi siswa yang ingin bertukar jawaban dengan temannya, bahkan kadang turut membantu distribusi jawaban tersebut. Budaya contek menyontek menjadi hal yang lumrah di dunia pendidikan. Hanya segelintir sekolah yang mampu mempertahankan idealismenya untuk menciptakan siswa berkarakter yang mampu menghadapai kemelut kehidupan di masa depan.

Hal tersebut merupakan efek domino yang diciptakan oleh lingkungan pendidikan. Keharusan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam setiap mata pelajaran adalah salah satu alasan mengapa seorang siswa memiliki ‘tekad’ yang kuat untuk mencontek. Mereka pada akhirnya terbiasa melakuakan berbagai macam cara yang sejatinya akan menodai nilai kejujuran yang menjadi modal untuk membangun jiwa wirausaha. Bagaimana bisa menjadi kreatif jika suasana pembelajaran di kelas selalu dicekoki dengan buku paket yang isinya itu-itu saja, Dipaksa untuk mencatat hal-hal yang sebetulnya dapat dipraktekan di lapangan untuk memberikan kesan yang lebih mendalam bagi siswa, dari pada sekedar didokumnetasikan di atas kertas? 

Sebaiknya sekolah memberikan keleluasaan terhadap siswanya untuk melakukan banyak hal yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini dapat memunculkan potensi-potensi yang terpendam dalam diri seseorang. Dengan membiarkan seorang anak tumbuh sesuai dengan potensinya, maka karakter dari orang tersebut akan semakin jelas dan akan menciptakan jiwa yang tangguh. Ia akan menjadi master di bidangnya dan memberikan kemanfaatan yang lebih banyak bagi banyak orang karena ia yakin terhadap apa yang digelutinya. Meskipun bukan menjadi sumber utama namun sistem pendidikan formal atau yang biasa disebut sekolah harus bertanggung jawab terhadap perkembangan sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah terutama menteri pendidikan selaku penanggung jawab utama perlu memperhatikan sistem tersebut karena kadang-kadang konsep ide yang direncanakan sudah baik, namun di lapangan hal itu tidak dapat direalisasikan sesuai dengan harapan. Perlu ada kunjungan teratur untuk memperhatikan proses dari sistem yang sedang diperbaiki tersebut. 

Namun tidak berhenti sampai situ, pemerintah juga perlu menyadarkan peran penting keluarga dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Artinya jika kesadaran tentang pendidikan tidak dimiliki oleh masyarakat dan keluarga dalam scope kecil, cita-cita tersebut tidak dapat direalisasikan dengan baik.

Jangan Abaikan Peran Keluarga

Menurut Pater Dorst dalam tulisannya tentang proses pembelajaran dan proses pendidikan, ditulis ulang oleh Andrias Harefa dalam bukunya Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, pendidikan berasal dari bahasa latin educare yang berarti menggiring ke luar. Jadi educare dapat diartikan usaha pemuliaan. Jadi pemuliaan manusia atau pembentukan manusia. Maka proses pendidikan sebagai proses pembentukan merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal, karena itu tidak mungkin. Seluruh proses pemuliaan, ialah pembentukan moral manusia muda hanya mungkin lewat interaksi informal antara dia dengan lingkungan hidup manusia muda itu. Jadi, kesimpulan yang paling mendasar ialah bahwa lembaga pertama dan utama pembentukan dan pendidikan adalah keluarga.

Banyak orangtua yang berpikir setelah anaknya dimasukkan ke sekolah yang full day, tanggung jawab mereka untuk memberikan pendidikan telah lepas karena akan dilakukan di sekolah tersebut. Mereka biasanya fokus mencari materi dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan dana pendidikan di sekolah yang memang mematok harga yang cukup tinggi karena memiliki fasilitas yang serba luar biasa. Namun ternyata bukan hal itu yang diperlukan untuk membangun pendidikan karakter. Peran orang tua sangat besar dalam perkembangan putra-putrinya. Budaya keluarga sangat kuat mempengaruhi kepribadian seseorang.

Sekolah hanyalah sarana yang kemudian menjadi elemen pendukung bagi berkembangnya potensi dan intelektualitas seseorang. Namun proses tersebut sejatinya berada di lingkungan keluarga. Keluargalah yang akan memberikan pengenalan mengenai norma dan aturan kehidupan, baik dan buruknya suatu hal bagi pencapaian masa depan. Dengan kondisi keluarga dan lingkungan yang nyaman, seseorang akan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal disamping perlu adanya pengurangan tuntutan orang tua terhadap sesuatu yang bukan bakatnya. Seperti paradigma bahwa seorang anak yang memiliki nilai matematika diatas angka 9 adalah anak yang cerdas, harus segera dihilangkan. Karena tidak semua anak dilahirkan dengan potensi eksak yang sama. Bisa jadi ternyata jika ditawarkan untuk bermain musik, anak tersebut akan menjadi musisi handal.

Keluarga juga perlu mengajarkan nilai-nilai yang membuat seseorang memiliki kesiapan yang cukup dalam mengarungi kehidupan sebenarnya. Keberanian, kemandirian, kejujuran, adalah nilai yang akan mendukung seseorang keluar dari zona nyamannya dan berani bereksplorasi untuk terus mengasah kemampuan intelektualnya juga. Langkah tersebut memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dalam budaya yang sudah mengakar. Namun di era globalisasi ini, tantangan kehidupan mengharuskan tumbuhnya pribadi-pribadi yang berkarakter kuat yang mampu menghadapi persaingan di dunia nyata dengan segala tantangan dan resikonya.

Kesimpulan

Menjadi wirausahawan pada akhirnya adalah pilihan pribadi seseorang, Akan tetapi pendidikan yang benar pada dasarnya adalah menyiapkan setiap pribadi pada situasi yang memungkinkan dirinya menentukan pilihan dengan sangat leluasa, bukan pilihan karena terpaksa. Seorang wirausahawan memiliki kelebihan dan kesempatan yang tidak dimiliki orang lain, seperti: kesempatan untuk mewujudkan cita-cita, untuk menciptakan perubahan, untuk mencapai potensi penuhnya, untuk menuai keuntungan yang mengesankan, memberikan kontribusi kepada masyarakat dan mendapatkan pengakuan untuk usahanya, dan kemerdekaan untuk dapat melakukan apa yang disukainya. Menjadi semakin yakin kita akan ungkapan Nabi Muhammad SAW bahwa dari sepuluh pintu rezeki, sembilan pintu diantaranya adalah bagi para wirausahwan (pengusaha). Semakin banyak sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kualitas seorang wirausahawan, akan semakin jayalah Indonesia. Berani untuk mengubah keadaan artinya berani untuk mengambil langkah yang istimewa. Tentu saja hal tersebut tidak mudah, namun tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

 

Ditulis dalam rangka mengikuti lomba KEM (Kompetisi Esai Mahasiswa 2010)

Tapi karena (alhamdulillah) belum beruntung alias tidak lolos, maka saya berharap tulisan ini dapat menjadi lebih bermanfaat jika di posting disini, daripada harus mengeram di dalam folder saya. 🙂

181010